BAB
I
PEMBAHASAN
PERBANDINGAN
PERBUATAN TUHAN DAN PERBUATAN MANUSIA
Af al al-‘ibad juga merupakan permasalahan yang serius di kalangan umat Islam,
terutama menyangkut hubungannya dengan perbuatan Tuhan. Apakah manusia
melakukan perbuatannya sendiri atau tidak? Kalapun Tuhan “campur tangan” dalam
perbuatan manusia, sampai sejauh mana “intervensi” Tuhan tersebut ? atau ada
juga yang menanyakan apakah kehendak dan kekuasaan Tuhan itu bersifat mutlak
tanpa batas atau ada batas-batas tertentu sehingga Tuhan “tidak berkuasa
mutlak” ? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang menjadi pembahasan para
Ulama Kalam. Ada beberapa pendapat masing-masing aliran mengenai masalah atau
pertanyaan tersebut. Diantaranya pendapat dari :
1.
Jabariah
Menurut aliran ini, manusia tidak berkuasa atas perbuatannya. Yang menentukan
perbuatan manusia itu adalah Tuhan. Karena itu, manusia tidak berdaya sama
sekali untuk mewujudkan perbuatannya, baik atau buruk.
Dalam paham Jabariah, perbuatan manusia dalam hubungan dengan Tuhan sering
digambarkan bagai bulu ayam itu terbang. Ia tidak mampu menentukan dirinya
sendiri, tapi terserah angin. Apabila perbuatan manusia diumpamakan sebagai
bulu ayam, maka angin itu adalah Tuhan yang menentukan kearah mana dan
bagaimana perbuatan manusia itu dilakukan.
Kadang-kadang diumpamakan pula manusia seperti wayang yang tidak berdaya.
Bagaimana dan bagaimana ia bergerak terserah dalang yang memainkan wayang itu.
Dalang bagi manusia adalah Tuhan.
Jaham
bin Shafwan, tokoh utama Jabariyah yang juga disebut dengan aliran Jahamiah
berpendapat bahwa perbuatan manusia tersebut dianggap sebagai paham Jabariah
yang ekstrem sebab dalam paham tersebut manusia tidak punya andil sama sekali
dalam perbuatannya. Semua ditentukan oleh Tuhan. Disamping paham ini, ada paham
kelompok Jabariyah yang dianggap moderat, yaitu paham yang dikembangkan oleh
Husain bin Najjar, Dhirar bin Amr dan Hafas al-Fardi.
Menurut paham Jabariyah yang moderat ini, perbuatan manusia tidak sepenuhnya
ditentukan oleh Tuhan, tetapi manusia juga punya andil dalam mewujudkan
perbuatannya. Seolah-olah ada kerja sama antara Tuhan dan manusia dalam
mewujudkan perbuatan manusia itu, sehingga manusia tidak semata-mata dipaksa
dalam melakukan perbuatannya. Dengan demikian, manusia mempunyai bagian yang
efektif dalam mewujudkan suatu perbuatan.
Gambaran lebih jelas paham Jabariah moderat ini terlihat dari pendapat
al-Najjar sebagaimana dikemukakan oleh al-Syahrastani : Tuhanlah yang
menciptakan perbuatan-perbuatan manusia dengan menciptakan daya tenaga dalam
diri manusia itu untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya secara efektif. Inilah
yang dinamakan al-kasb dalam pendapat al-Asy’ari.
2.
Qadariah
Qadariah berpendapat, manusia mempunyai iradat (kemampuan berkehendak dan
memlih) dan qudrah (kemampuan untuk berbuat)
Menurut paham ini Allah SWT membekali manusia sejak lahirnya dengan Qudrat dan
Iradat. Suatu kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya sendiri dengan akal dan
ajaran agama sebagai pedoman dalam melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.
Karena manusia bebas, merdeka dan memiliki kemampuan mewujudkan
perbuatan-perbuatannya, ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan itu dihadapan
Allah SWT. Jika ia banyak melakukan yang baik, ia akan mendapat balasan berupa
nikmat dan karunia yang besar. Sebaliknya, jika perbuatan jahat yang banyak
dikerjakannya, ia akan disiksa. Karena perbuatan itu diciptakan dan diwujudkan oleh
manusia sendiri, wajar dan adil kalau Tuhan menyiksa atau memberi pahala.
Dari uraian singkat di atas terlihat bahwa menurut paham Qadariah, Tuhan tidak
campur tangan dalam perbuatan manusia. Manusia sendirilah yang melakukan
perbuatan itu.
3.
Mu’tazilah
Paham Mu’tazilah dalam masalah af al al-ibad ini seirama dengan paham Qadariah.
Bahkan menurut Prof. Dr. Ahmad Amin, kaum Qadariah sering dinamakan Mu’tazilah
karena mereka sependapat bahwa manusia mempunyai kemampuan mewujudkan tindakan
dan perbuatannya, tanpa campur tangan Tuhan. Mereka juga membantah segala hal
yang terjadi qadha dan qadar Allah semata.
Kaum mu’tazilah membagi perbuatan manusia menjadi dua bagian :
a.
perbuatan yang timbul dengan sendirinya seperti gerakan refleks. Perbuatan
seperti ini jelas bukan diciptakan oleh manusia yang bersangkutan, tetapi
terjadi dengan sendirinya, tanpa kontrol dan kemauan manusia tersebut.
b.
Perbuatan-perbuatan bebas, yaitu perbuatan yang bisa dipilih manusia untuk
melakukan atau tidak melakukannya. Perbuatan semacam ini lebih pantas dikatakan
diciptakan manusia dari pada dikatakan diciptkan Tuhan.
Perbuatan jenis kedua inilah yang menjadi pembahasan tokoh-tokoh mu’tazilah
seperti Washil bin atha, al-Jubba’I dan abdul Jabar. Mereka sependapat dengan
aliran Qadariah bahwa manusia bebas melakukan perbuatannya tanpa campur tangan
Tuhan kepada manusia itu. Karena itu, Tuhan dikatakan adil jika menyiksa orang
yang berbuat dosa dan memasukan ke surga orang yang berbuat baik.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa kehendak, kekuasaan dan perbuatan manusia
adalah mutlak, artinya manusia bebas berkehendak dan mewujudkan perbuatannya. Perbuatan
manusia bukan atas dasar penciptaan Tuhan.
Prinsip kaum Mu’tazilah adalah “Keadilan Tuhan” yang menurut mereka Tuhan tidak
akan memberi pahala atau siksa kepada seseorang kecuali atas perbuatan yang ia
lakukan sendiri dan memang dikehendaki, karena dengan akalnya bisa membedakan
perbuatan yang baik dan buruk, berarti dapat menentukan pilihan.
Manusia
mempunyai kesanggupan dan kekuasaan untuk mewujudkan perbuatannya sehingga
dapat memahami adanya perintah-perintah Tuhan. Tentang janji dan ancaman,
pengutusan rasul-rasul tidak ada kezaliman bagi Tuhan.
Mengenai pekerjaan manusia, kaum Mu’tazilah berpendirian bahwa pekerjaan
manusia hanyalah “kemauan”, dan ada perbedaan antara pekerjaan yang keluar dari
kemauan dan pekerjaan yang timbul dari perbuatan yang lain. Macam kedua
perbuatan ini timbul berdasarkan hukum alam, sedang perbuatan yang pertama
tidak tunduk pada hukum alam dan tidak terjadi pula dengan sendirinya.
Perbuatan manusia yang bebas adalah terjadi dengan usaha dan pilihannya sendiri
bukan ciptaan Tuhan. Selanjutnya kaum Mu’tazilah menganggap bahwa manusia dalam
hatinya merasakan perbuatan yang akan terjadi menurut dorongannya. Kalau dia
mau bergerak, maka bergeraklah dan kalau dia mau diam maka diamlah. Ini adalah
kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.
Sebagai aliran rasionalis yang menempatkan akal pada posisi yang tinggi dan
meyakini kemampuan akal untuk dapat memecahkan problema teologis, berpendapat,
kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya. Kekuasannya dibatasi oleh beberapa hal
yang diciptakannya sendiri. Hal-hal yang membatasi kekuasaan Tuhan tersebut
antara lain :
a.
Kewajiban-kewajiban Tuhan untuk menunaikan janji-janjinya seperti janji
memasukan orang yang soleh ke dalam surga dan orang yang berbuat jahat kedalam
neraka. Tuhan wajib menepati janji ini. Dengan demikian meskipun Tuhan berkuasa
memasukan orang Jahat kedalam surga, tapi kekuasaanya dibatasi oleh janjinya
sendiri. Jika Tuhan paksakan juga memasukan orang jahat kedalam surga berarti
Tuhan tidak adil atau melanggar janji.
b.
Kebebasan dan kemerdekaan manusia untuk melakukan perbuatannya. Allah
memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada manusia untuk melakukan perbuatan.
Karena itu manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Manusialah yang memilih
dan menentukan, berbuat atau tidak, dan apa yang akan ia perbuat. Karena Allah
sudah memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada manusia memilih dan
menentukan perbuatannya itu, maka kekuasaan Tuhan terhadap perbuatan manusia
itu tidak mutlak lagi.
c.
Hukum alam. Allah menciptakan Alam semesta ini dengan hukum-hukum tertentu yang
bersifat tetap. Hukum-hukum tersebut biasanya dinamakan dengan hukum alam,
seperti matahari terbit disebelah timur dan tenggelam disebelah barat, benda
tajam melukai, api membakar dan lain-lain. Hukum alam yang pada haikatnya
adalah hukum Allah yang menciptakan hukum itu sudah ditentukan oleh Tuhan.
Dengan ketentuan tersebut, Tuhan tidak berkuasa mutlak lagi, kekuasaanya
dibatasi oleh hukum-hukum alam (natur) atau sunnah Allah yang tidak mengalami
perubahan atau dengan kata lain sesuatu yang diciptakannya sendiri. Mereka
berpegang pada ayat Al-Qur’an surat Al-Ahzab : 62:
“Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang Telah terdahulu
sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah
Allah.”
Beberapa prinsip yang dianut oleh mu’tazilah adalah :
a.
Tuhan menciptakan makhluk berdasarkan atas hikmah dan kebijaksanaan (tujuan)
b.
Tuhan tidak menghendaki dan memerintahkan keburukan.
c.
Manusia mempunyai kesanggupan untuk mewujudkan perbuatannya
d.
Tuhan mesti mengerjakan yang baik dan yang terbaik.
Menurut pendapat muktazilah, jika perbuatan manusia diciptakan Tuhan
seluruhnya, maka Taklif tidak ada artinya. Pahala dan siksa juga tidak berguna
dihari pembalasan nanti sebab perbuatan itu dikerjakan bukan dengan kehendak
dan kemaunya sendiri.
4.
Asy’ariah
Menurut al-asy’ariyah, yang dimaksud dengan al-kasb ialah berbarengan kekuasaan
manusia dengan perbuatan Tuhan. Artinya, apabila seseorang ingin melakukan
suatu perbuatan, perbuatan itu baru terlaksana jika sesuai dengan kehendak
Tuhan.
Al-asy’ariah membagi perbuatan manusi kepada dua bentuk :
a.
Perbuatan yang timbul dengan sendirinya
b.
Perbuatan yang timbul dari kehendak manusia
Pada perbuatan jenis kedua ini, manusia merasa sanggup melakukan suatu
perbuatan. Ini berarti ia memiliki kekuasaan atau kemampuan yang dapat
dipergunakannya. Dengan kesanggupan yang didahului iradat/kehendak . Ini
manusia tersebut memperoleh perbuatannya. Mendapat pekerjaan inilah yang
dinamakan al-kasb. Dengan kata lain, apabila ada keinginan dari seseorang untuk
melakukan suatu perbuatan, pada saat itulah Allah SWT menciptakan kemampuan
kepadanya untuk mewujudkan perbuatan tersebut. Dengan kemampuan itu ia
menghasilkan perbuatannya, tapi ia tidak menciptakan perbuatan itu. Yang
menciptakan perbuatan itu hakekatnya adalah Allah SWT. Inilah sebabnya paham
Al-Asy’ari dianggap sangan dekat dengan paham Jabariah, sekalipun dengan teori
al-kasb diatas terlihat bahwa yang berpengaruh dan efektif dalam perwujudan
perbuatan manusia adalah Tuhan, bukan manusia itu sendiri. Perbuatan manusia
baru efektif jika sesuai dengan kehendak Tuhan.
Menurut Asy’ariah, Tuhan berkuasa mutlak atas segala-galanya. Tidak ada satupun
yang membatasi kekuasaanya itu. Karena kekuasaan Tuhan bersifat Absolout, bisa
saja Tuhan memasukan orang jahat atau kafir kedalam surga atau memasukan orang
mukmin yang saleh kedalam neraka, jika hal itu memang dikehendakinya. Apabila
Tuhan berbuat demikian, menurut pendapat ini, bukan berarti Tuhan tidak adil.
Keadilan Tuhan tidaklah berkurang dengan perbuatannya itu sebab semua yang ada
adalah ciptaan dan miliknya.
Sebagai zat yang memiliki kekuasaan absoloute dan mutlak, bagi Asy’ariah, Tuhan
tidak terikat dengan janji-janji, norma-norma keadilan, bahkan tidak terikat
dengan apapun.
5.
Maturidiah
Menurut golongan Maturidiah, kemauan manusia sebenarnya adalah kemauan Tuhan.
Namun, tidak selamanya perbuatan manusia dilakukan atas kerelaan Tuhan karena
Tuhan tidak menyukai perbuatan-perbuatan buruk. Jadi, di dalam paham Maturidiah
ada unsur kehendak dan kerelaan. Manusia melakukan perbuatan, baik itu buruk,
atas kehendak Tuhan. Jika perbuatan yang dilakukan itu baik, maka perbuatan itu
mendapat kerelaan Tuhan. Jika tidak, perbuatan itu terjadi atas kehendak Tuhan,
tetapi tidak dengan kerelaan Tuhan.
Abu Zahra dalam bukunya Tarikh al-madzhib al-Islamyyah menyebutkan, golongan
Maturiddi juga memakai Istilah al-kasb. Tetapi mereka mengartikan quadrat
dengan daya yang diberikan Allah kepada hambanya untuk berbuat kebaikan atau
kejahatan. Daya diciptakan bersama-sama perbuatan manusia. Dengan demikian,
perbuatan manusia itu akan diberi imbalan karena menggunakan daya tersebut.
Pada
dasarnya golongan Maturidiah berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan
perbuatan Manusia itu. Tapi, mereka membagi dua perbuatan itu, pertama:
Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptan daya di dalam diri manusia.
Penciptaan tersebut bersama-sama dengan terwujudnya suatu perbuatan. Kedua,
perbuatan manusia itu sendiri dalm bentuk pemanfaatan pamakaian daya yang
diciptakan Allah SWT tersebut.
Dalam
hubungan dengan pendapat Maturidiah mengenai perbuatan manusia ini, A. Hanafi,
M.A. menulis, “selama manusia itu dijadikan Tuhan, maka perbuatan-perbuatannya
juga dijadikan Tuhan. Karena itu, semua perbuatan manusia berupa gerak, diam,
taat, dan maksiat sebenarnya mereka sendiri yang mengerjakannya, tetapi
dijadikan Tuhan.
Dari uaraian singkat diatas dapat disimpulkan bahwa bagi Maturidiah, perbuatan
manusia itu diwujudkan oleh manusia yang bersangkutan dengan daya yang
diciptakan Tuhan untuk melakukan perbuatan itu.
Bagi golongan ini, Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, namun kekuasaanya dibatasi
oleh batasan yang diciptakannya sendiri. Batasan-batasan tersebut, menurut
Prof. Dr. Harun Nasution adalah :
a.
Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang, menurut pendapat mereka, ada pada
manusia.
b.
Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan
atas kemerdekaan manusia dalam mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya
untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
c.
Keadaan hukuman-hukuman Tuhan, sebagai kata al-Bazdawi tak boleh tidak mesti
terjadi.
6.
Salafiyah
Menurut ulama Salafiyah bahwa manusia mempunyai usaha dengan bebas sesuai
dengan kehendak dan kemauannya tidak lepas dari Qudrat Allah SWT.
Contoh tanda-tanda Qudrat Allah bahwa kadang Tuhan menghalangi apa yang
dikehendaki manusia, sehingga terjadi tidak seorang pun sanggup menolong
sesamanya diluar dari apa yang diusahakan. Seperti mengobati orang sakit, tapi
tidak sembuh.
Tuhan memiliki kekuasaan dan perbuatan mutlak., yakni Tuhan menciptakan langit
dan bumi dengan segala isinya tanpa adanya sekutu dalam penciptaannya. Tidak
ada yang menyamai dan mepersengketakan kekuasaan-Nya. Dalam menciptakan segala
sesuatu dan semua pekerjaan datang atas kekuasaan Tuhan dan semuanya akan
kembali kepada-Nya jua.
7.
Ahlus Sunnah Waljama’ah
Perbuatan manusia itu dikerjakan atas Qudrat Allah disertai dengan qudrat
manusia dan Qudrat Allah-lah yang dapat memberi bekas.
Jadi perbuatan manusia diciptakan oleh Allah SWT, bukanlah juga mempunyai
bagian yang disebut usaha (alkasbu) berbarengan antara perbuatan seseorang
dengan kemampuannya.
Dengan usaha itulah manusia bertanggung jawab atas segala baik dan buruknya
perbuatan yang dilakukan.
Dengan demikian menunjukan bahwa manusia berhak berusaha, namun Allah jualah
yang menentukan hasilnya.
Tuhan menghendaki kebaikan dan keburukan, jika sesuatu dikehendaki oleh Tuhan
baik, maka baiklah sesuatu. Sebaliknya jika Tuhan menghendaki maka sesuatu itu
akan buruk.
Tuhan berkuasa atas segala sesuatu, akan tetapi memberi kekebasan kepada
manusia untuk berusaha mewujudkan sesuatu pekerjaan. Dalam masalah perbuatan
Tuhan berpendapat bahwa Tuhan berbuat sesuatu karena qudrat dan iradat-Nya,
tidak mempunyai tujuan dan bukan karena hikmah tertentu, sesuai dengan firman
Allah dalam surat Yasin : 82. yang berbunyi :
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata
kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia.”
BAB
II
KESIMPULAN
Dari beberapa pendapat aliran dalam pembahasan makalah kami, maka Penulis dapat
mengambil satu kesimpulan bahwa Allah memiliki sifat yang mutlak dan tidak
dapat dirubah oleh siapa pun kecuali dengan kehendak-Nya sendiri. Seperti dalam
firman Allah SWT dalam surat Yasin ayat 82. “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila
Dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah
ia.” Allah telah berjanji dalam Al-Qur’an surat Al-Qari’ah ayat 6-11 yang
berbunyi :
“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, Maka dia berada
dalam kehidupan yang memuaskan.Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya,
Maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka
Hawiyah itu?b (yaitu) api yang sangat panas.”
Penulis yakin Allah akan menepati janjinya, dan apapun yang ia putuskan kita
tidak dapat lagi mengubahnya. Manusia telah diberikan kebebasan berkehendak,
bergerak dan sebagainya akan tetapi manusia harus ingat bahwa apa yang akan
kita tempuh segalanya telah diatur oleh Allah. Kita tinggal menjalaninya saja.
Oleh karena itu kita harus hidup ikhlas artinya segala sesuatu yang baik
dilakukan semata-mata hanya karena Allah. Maksudnya semua yang kita lakukan
tujuannya hanya untuk Allah SWT, bukan karena pahala dan surga, juga bukan
karena takut dosa dan neraka. Sebab pahala dan surga adalah janji Allah swt
kepada hambanya yang beribadah ikhlas kepada-Nya. Sedangkan dosa dan neraka
adalah peringatan Allah SWT kepada hamba-Nya, agar hidup ini selamat di dunia
dan akhirat. Karena hikmah dan ibadah adalah rahasia Allah SWT sekaligus hanya
Allah yang mengetahuinya. Kita harus hidup ikhlas, dan jangan terlalu
mengharapkan sesuatu yang lebih karena semakin besar kita mengharapkan sesuatu
maka hanya kekecewaan yang akan kita dapatkan. Yakinlah segala yang terjadi
yang sifatnya baik segalanya mutlak datangnya dari Allah. Dan segala kejadian
buruk hanyalah datang dari diri kita snediri dan sebaiknya semua kita angkat
sebagai bahan renungan dan pelajaran kedepan. Kita juga harus memiliki prinsip
bahwa hari esok harus lebih baik dari hari yang kemarin.
Allah menciptakan manusia dan seluruh apa-apa yang ada di dalam bumi untuk
bersujud kepada-Nya. Ingatlah bahwa dunia ini hanya bersifat sementara. Manusia
bisa memiliki berbagai keinginan dan kehendak akan tetapi Allah yang memegang
kendali. Bagaikan nakoda yang mengemudikan kapalnya.repost from: http://nuraini-forchadd.blogspot.com/2010/11/kata-pengantar-assalamualaikum_06.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar