A.
Latar Belakang
Dalam ajaran
Islam ada tiga komponen yang merupakan tiang utama bagi kekokohan keberagamaan
seseorang, ketiga komponen tersebut adalah Islam, iman dan ihsan. Islam adalah
ajaran yang di dalamnya terdapat lima pokok ajaran yaitu syahadat, shalat,
puasa, zakat, dan haji, sedangkan iman adalah sebuah ajaran yang berhubungan
dengan keyakinan hati, di dalamnya terdapat enam inti ajaran yaitu kepercayaan
terhadap Allah, malaikat, para rasul, kitab-kitab, hari akhir, qada dan qadar.
Adapun ihsan adalah sebuah ajaran yang menekankan adanya kemurnian dan
ketulusan dalam merealisasikan penyembahan dan penyerahan diri kepada Sang
Pencipta. Kemurnian dan ketulusan ini berangkat dari jiwa yang memiliki nilai-nilai
karimah, dan adanya nilai-nilai karimah ini dalam Islam termasuk kategori
tujuan pembentukan akhlak Islam. Dengan demikian, ajaran ihsan rapat
hubungannya dengan akhlak, yakni sebuah keadaan yang tertanam pada jiwa
manusia.
Dalam Islam,
akhlak menempati posisi yang sangat penting, karena kesempurnaan Islam
seseorang sangat tergantung kepada kebaikan dan kemuliaan akhlaknya. Manusia
yang dikehendaki Islam adalah manusia yang memiliki akhlak mulia, manusia yang
memiliki akhlak mulialah yang akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat.
Oleh karena
hal tersebut di atas, dalam al-Quran banyak mengungkapkan hal-hal yang
berhubungan dengan akhlaq, baik berupa perintah untuk berakhlaq yang baik,
maupun larangan berakhlaq yang buruk serta celaan dan dosa bagi orang yang
melanggarnya. Hal ini membuktikan betapa pentingnya akhlaq dalam ajaran Islam,
karena akhlaq yang baik (mahmudah) akan membawa kemasalahatan dan
kemuliaan kehidupan.
B. Pengertian Akhlak
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud,
1989 21) akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Secara
etimologis, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi
pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at (Louis Ma’luf, 1997 : 164).
Secara terminologi, akhlak adalah:
عِبَارَةٌ عَنْ هَيْئَةٍ فِى النَّفْسِ رَاسِخَةٌ عَنْهَا تَصْدُرُ
اْلأَفْعَالُ بِسُهُوْلِةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرُؤْيَةٍ
”Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan
mudah, tanpa melakukan pemikiran dan pertimbangan menurut al-Ghazali.” (1989 :
58).
Definisi yang diberikan oleh al-Ghazali ada
kemiripan dengan definsi yang diberikan Ibrahim Anis (1975 : 2002) yaitu:
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengannya lahirlah macam-macam
perbuatan, baik atau buruk, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Dari dua
definisi di atas dapat dipahami bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam
jiwa manusia, sehingga akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan lebih lanjut. Imam al-Ghazali memberikan ilustrasi dalam
kitabnya Ihya Ulum al-Din (loc. Op. cit) bahwa bila seseorang dalam
menerima tamu dan membeda-bedakan tamu yang satu dengan yang lainnya, atau
kadangkala lembut dan kadangkala tidak, maka orang tersebut belum bisa
dikatakan mempunyai sifat memuliakan tamu. Sebab seseorang yang mempunyai
akhlak memuliakan tamu, tentu akan selalu memuliakan tamunya tanpa melihat
latar belakang tamunya.
Di samping istilah akhlak, juga dikenal istilah
etika dan moral. Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang
berarti adat, watak atau kesusilaan. Sedangkan moral yaitu mos jamaknya mores
adalah kata latin yang berarti adat atau cara hidup. Meskipun kedua istilah
tersebut mempunyai kesamaan pengertian dalam percakapan sehari-hari, namun di
sisi lain mempunyai unsur perbedaan. Istilah etika digunakan untuk mengkaji
sistem nilai yang ada, karena etika merupakan suatu ilmu. Istilah moral
digunakan untuk memberikan kriteria perbuatan yang sedang dinilai. Karena itu,
moral bukan suatu ilmu tetapi merupakan suatu perbuatan manusia (Mahyuddin,
1999 : 2).
Kedua istilah di atas, sama-sama menentukan nilai
baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia. Namun perbedaannya terletak pada
dasar yang dipakai dalam menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Akhlak
dasarnya al-Quran dalam menentukan baik dan buruk, sedangkan etika dasarnya
pertimbangan akal pikiran dan moral dasarnya adalah kebiasaan yang umum berlaku
di masyarakat (Asmara, 1992 : 9).
Dalam Islam, yang menjadi dasar atau alat pengukur
yang menyatakan bahwa sifat seseorang itu baik atau buruk adalah al-Quran dan
as-sunnah. Apa yang baik menurut al-Quran dan Sunnah, itulah yang baik untuk
dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, apa yang buruk
menurut al-Quran dan Sunnah berarti tidak baik dan harus dijauhi. Pribadi Nabi
Muhammad saw. adalah contoh yang paling tepat untuk dijadikan teladan dalam
membentuk pribadi masing-masing. Begitu juga pribadi sahabat-sahabat beliau,
dapat kita jadikan contoh teladan, karena mereka semua mempedomani al-Quran dan
Sunnah Nabi saw. (Ali Hasan, 1982:11).
Akhlak terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Akhlak mahmudah, ialah segala
tingkah laku yang terpuji (yang baik) yang biasa dinamakan ”fadlilah”
(kelebihan (Hamzah Ya’qub, 1996:95). Akhlak yang baik umpamanya: benar, amanah,
menepati janji, sabar (tabah), pemaaf, pemurah, dan lain-lain sifat dan sikap
yang baik (M. Ali Hasan, 1982:10).
b. Akhlak madzmumah, yang berarti
tingkah laku yang tercela atau aklak yang jahat (qabihah) yang menurut
istilah al-Ghazali disebut ”muhlikat”, artinya segala sesuatu yang
membinasakan atau mencelakakan (Hamzah Ya’qub, 1996:95). Akhlak yang buruk
umpamanya: sombong (takabbur), dengki, dendam, mengadu domba, ghibah,
riya, khianat, dan lain-lain sifat dan sikap yang jelek (M. Ali Hasan,
1982:10).
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Akhlak
Untuk menjelaskan faktor yang mempengaruhi akhlak
pada khususnya, dan pendidikan pada umumnya, ada tiga aliran yang sudah amat
populer, yaitu aliran Nativisme, aliran Empirisme, dan aliran konvergensi.
Menurut aliran Nativisme, bahwa perkembangan
manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa manusia sejak
lahir; pembawaan yang telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang
menentukan hasil perkembangannya (M. Ngalim Purwanto, 2007:59).
Menurut aliran ini, faktor yang paling berpengaruh
terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang
bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat, akal, dan lain-lain. Jika
seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecenderungan kepada yang baik, maka
dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik (Abudin Nata, 2006:167).
Selanjutnya, menurut aliran empirisme bahwa faktor
yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor luar,
yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika
pendidikan dan pembinaan yang diberikan kepada anak baik, maka baiklah anak
itu. Demikian juga sebaliknya. Aliran ini begitu percaya kepada peranan yang
dilakukan oleh dunia pendidikan dan pengajaran (Abudin Nata, 2006:167).
Menurut aliran ini, manusia-manusia dapat dididik
menjadi apa saja (ke arah yang baik maupun ke arah yang buruk) menurut kehendak
lingkungan atau pendidikannya. Dalam pendidikan, pendapat kaum empiris ini
terkenal dengan nama optimisme pedagogis (M. Ngalim Purwanto, 2007:59).
Aliran lain, yaitu aliran konvergensi berpendapat
bahwa pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawan si
anak, dan faktor luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus,
atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Fitrah dan kecenderungan ke
arah yang baik yang ada dalam diri manusia dibina secara intensif melalui
berbagai metode (M. Arifin, 1991:113).
Aliran yang ketiga ini, tampak sesuai dengan
ajaran Islam. hal ini dapat dipahami dari ayat dan hadits di bawah ini:
وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِّنْ بُطُوْنِ
أُمَّهَاتِكُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ شَيْأً وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ
وَاْلأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur.” (Depag RI, 1989 : 413)
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa manusia
memiliki potensi untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran dan hati
sanubari. Potensi tersebut harus disyukuri dengan cara mengisinya dengan ajara
dan pendidikan (Abudin Nata, 2006:168).
Kesesuaian teori konvergensi tersebut di atas,
juga sejalan dengan dengan Hadits Nabi saw. yang berbunyi:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ
أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ. (رواه البخارى)
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka ayah dan ibunyalah yang
akan menjadikan dia seorang yahudi atu nasrani“.(Sahih Bukhari, Jilid 3, 1995 :
177).
Ayat dan hadits tesebut di atas, selain
menggambarkan adanya teori konvergensi juga menunjukkan dengan jelas bahwa
pelaksana utama dalam pendidikan adalah kedua orang tua. Itulah sebabnya kedua
orang tua, khususnya ibu mendapat gelar sebagai madrasah, yakni tempat
berlangsungnya kegiatan pendidikan (Abudin Nata, 2006:169).
Dengan merujuk kepada aliran konvergensi di atas,
maka dapat disimpulkan, bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi akhlak manusia,
yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Menurut Shailun A. Nashir (1992:42)
faktor intern yang mempengaruhi akhlak terdiri atas instink, akal dan nafsu.
Sedangkan menurut Rahmat Djatnika (1992:72) faktor dari dalam diri manusia itu
adalah instink dan akalnya, adat, kepercayaan, keinginan-keinginan, hawa
nafsu (passion) dan hati nurani atau wijdan. Selain itu, faktor
intern yang dapat mempengaruhi akhlak juga terdapat dalam diri individu yang
bersangkutan, seperti malas, tidak mau bekerja, adanya cacat fisik, cacat
psikis dan lainnya.
Adapun faktor yang berasal dari luar dirinya
secara langsung atau tidak langsung, disadari atau tidak, semua yang sampai
kepadanya merupakan unsur-unsur yang membentuk akhlak. Faktor-faktor tersebut
adalah:
-
Keturunan.
-
Lingkungan.
-
Rumah tangga.
-
Sekolah.
-
Pergaulan kawan,
persahabatan.
-
Penguasa, pemimpin (Rahmat
Djatnika, 1992:73)
Lingkungan merupakan salah satu faktor dari luar
yang besar pengaruhnya tehadap tingkah laku seseorang. Lingkungan ini bisa
berupa lingkungan keluarga, masyarakat, pendidikan, juga lingkungan alam. Dalam
hal ini, Hamzah Ya’qub (1996:71) membagi lingkungan atas dua bagian, yaitu:
a.
Lingkungan Alam yang Bersifat
Kebendaan
Lingkungan alam yang besifat kebendaan merupakan faktor yang mempengaruhi
dan menentukan tingkah laku manusia. Lingkungan alam ini dapat mematahkan dan
mematangkan pertumbuhan bakat seseorang, namun jika kondisi alamnya jelek akan
menjadi perintang dalam mematangkan bakat seseorang. Oleh karena itu, kondisi alam
ini ikut mencetak manusia-manusia yang dipangkunya. Misalnya, orang yang
hidupnya di pantai akan berbeda kehidupan dan perilakunya dengan orang yang
hidup di pegunungan.
b.
Lingkungan pergaulan yang
bersifat rohaniah
Lingkungan pergaulan sesama manusia sangat mempengaruhi terjadinya
perbuatan manusia, karena antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya
saling mempengaruhi dalam pikiran sifat, dan tingkah laku. Lingkungan pergaulan
ini dapat dibagi kepada beberapa kategori:
-
Lingkungan dalam rumah
tangga;
-
Lingkungan sekolah;
-
Lingkungan pekerjaan;
-
Lingkungan organisasi atau
jamaah;
-
Lingkungan yang bersifat umum
dan bebas, misalnya seseorang yang bergaul dengan pecandu obat bius, maka
diapun akan menjadi pecandu obat bius juga. Sebaliknya, jika remaja itu bergaul
dengan sesama remaja dalam bidang-bidang kebajikan, niscaya pikirannya,
sifatnya dan tingkah lakunya akan terbawa kepada kebaikan.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa akhlak yang
menghiasi seseorang tidak terlepas dari pengaruh yang terdapat dalam dirinya,
berupa potensi-potensi yang dibawanya sejak lahir, dan pengaruh yang datang
dari luar, yaitu berupa lingkungan dan pendidikan yang diterimanya.
D. Akhlak Karimah dalam Kaitannya dengan Fungsi Hidup
Akhlakul yang baik (al-akhlaqu al-mahmudah)
sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, karena dengan akhlak tersebut bisa
menyeimbangkan antara antara akhlak yang baik dengan akhlak yang buruk pada
perbuatan manusia, maka ukuran dan karakternya selalu dinamis, sulit
dipecahkan.
Islam menginginkan suatu masyarakat yang berakhlak
mulia. Akhlak mulia ini sangat ditekankan karena di samping akan membawa
kebahagiaan bagi individu, juga sekaligus membawa kebahagiaan bagi masyarakat
pada umumnya. Dengan kata lain bahwa akhlak utama yang ditampilkan seseorang,
tujuannya adalah untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Abudin
Nata, 2000:169-170).
Allah Swt.
menggambarkan dalam al-Quran tentang janji-Nya terhadap orang yang senantiasa
berakhlak baik, di antaranya Q.S. an-Nahl:97
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ
مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ (النحل:97)
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.
Orang yang selalu melaksanakan akhlak mulia, mereka
akan senantiasa memperoleh kehidupan yang baik, mendapatkan pahala berlipat
ganda di akhirat dan akan dimasukkan ke dalam sorga. Dengan demikian, orang
yang berakhlak mulia akan mendapatkan keberuntungan hidup di dunia dan di
akhirat.
Kenyataan sosial membuktikan bahwa orang yang
berakhlak baik akan disukai oleh masyarakat, kesulitan dan penderitaannya akan
dibantu untuk dipecahkan, walau mereka tidak mengharapkannya. Peluang,
kepercayaan dan kesempatan datang silih berganti kepadanya. Kenyataan juga menunjukkan
bahwa orang yang banyak menyumbang, bersedekah, berzakat, tidak akan menjadi
miskin, tetapi malah bertambah hartanya.
Akhlak karimah merupakan suatu pengamalan yang
bersifat ibadah di mana seseorang dalam perilakunya dituntut untuk berbuat baik
terhadap Allah swt. dan berbuat baik terhadap manusia, juga terhadap dirinya
sendiri, juga terhadap makhluk Allah yang lainnya (Ana Suryana, 2007:73).
Dalam pada itu, Ana Suryana (2007:73-74)
mengelompokkan akhlak di atas sebagai berikut:
1.
Akhlak yang baik kepada
Allah:
-
Cinta kepada Allah swt.
-
Taqwa kepada Allah swt.
-
Mengharap keridlaan Allah
swt.
-
Tawakkal kepada Allah swt.
2.
Akhlak yang baik terhadap
sesama manusia:
-
Berbuat baik terhadap ibu dan
bapak.
-
Berbuat baik terhadap teman.
-
Berbuat baik terhadap
sahabat.
3.
Akhlak baik terhadap diri
sendiri:
-
Menjaga lahir batin.
-
Harus berani membela yang
baik.
-
Rajin bekerja dan mengamalkan
ilmunya.
-
Bergaul dengan orang baik.
-
Berusaha mencari nafkah yang
halal.
-
Jujur dan benar dalam
perilaku.
4.
Akhlak yang baik terhadap
sesama makhluk Allah.
-
Sayang terhadap binatang.
-
Sayang terhadap
tumbuh-tumbuhan.
E. Pendidikan Akhlak
Dalam arti
sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina
kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.
Dalam perkembangannya, isitlah atau paedagogie berarti bimbingan atau
pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh dewasa agar ia menjadi dewasa
(Hasbullah, 2008 : 1). Di samping itu juga, pendidikan diartikan sebagai usaha
yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa
atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti
mental (Sudirman N., dkk., 1992 : 4)
Sementara itu,
Ahmad D. Marimba, 1987 : 19) memberikan pengertian pendidikan dengan:
Bimbingan atau pimpinan secara
sadar si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama.
Lebih lanjut Ahmad D. Marimba
mengungkapkan, bahwa dalam pendidikan terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1.
Usaha (kegiatan), usaha itu bersifat bimbingan (pimpinan atau
pertolongan) dan dilakukan secara sadar;
2.
Ada pendidik, pembimbing, atau penolong;
3.
Ada yang dididik atau si terdidik;
4.
Bimbingan itu mempunyai dasar dan tujuan;
5.
Dalam usaha itu tentu ada alat-alat yang dipergunakan. (Ahmad D.
Marimba, 1987 : 19)
K.H. Dewantara sebagaimana dikutip Suwarno (1985 : 2) memberikan
definisi pendidikan sebagai berikut:
Pendidikan yaitu tuntunan di
dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia
dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang setinggi-tingginya.
Dalam
Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 dinyatakan, bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau
latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
Sedangkan dalam Undang-Undang No.
20 Tahun 2003, pendidikan diartikan sebagai:
Usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dari beberapa
pengertian pendidikan yang telah diuraikan di atas, meskipun berbeda secara
redaksional, namun secara essensial terdapat kesatuan unsur-unsur atau
faktor-faktor yang terdapat di dalamnya, yaitu bahwa pengertian pendidikan
tersebut menunjukkan suatu proses bimbingan, tuntunan atau pimpinan yang di
dalamnya mengandung unsur-unsur seperti pendidik, anak didik, tujuan dan
sebagainya.
Dari gabungan
dua pengertian, akhlak dan pendidikan, maka dapat diketeahui bahwa pendidikan
akhlak adalah proses, perbuatan, tindakan, penanaman nilai-nilai perilaku budi
pekerti, perangai, tingkah laku, baik terhadap Allah swt., sesama manusia, diri
sendiri, dan alam sekitar yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil untuk
memperkokoh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
v Kosep Dasar Pendidikan Akhlak
Dalam konsep
akhlak, segala sesuatu itu dinilai baik dan buruk, terpuji atau tercela,
semata-mata berdasarkan kepada al-Quran dan Hadits. Oleh karena itu, dasar dari
pembinaan akhlak adalah al-Quran dan hadits.
Ajaran akhlak
dalam Islam bersumber dari wahyu Allah swt., yang termaktub dalam al-Quran dan
hadits. Di dalam al-Quran kira-kira seribu lima ratus ayat yang mengandung
ajaran akhlak, baik yang teoritis maupun praktik. Demikian pula hadits-hadits
Nabi, amat banyak jumlahnya yang memberikan pedoman akhlak (Yunahar Ilyas, 2002
: 12)
Bertitik tolak
dari pengertian akhlak yang mengandung arti kelakukan, maka dapat dikatakan
bahwa kelakuan manusia itu beraneka ragam sesuai dengan firman Allah swt. dalam
Q.S. al-Lail: 4
إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّى (الليل : 4)
“Sesungguhnya usaha kamu memang
berbeda-beda.” (Depag RI, 1989 : 1067)
Keanekaragaman
tersebut dapat ditinjau dari berbagai sudut antara lain nilai kelakuan yang
berkaitan dengan baik dan buurk serta obyeknya yakni kepada siapa kelakuan itu
ditujukan (Quraish Shihab, 1998 : 253-254). Tidak dapat dipungkiri pada diri
manusia terdapat dua potensi yaitu potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan
firman Allah swt. pada Q.S. al-Balad : 10:
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ (البلد : 10)
“Dan kami Telah menunjukkan
kepadanya dua jalan.” (Depag RI, : 1989 : 1061)
Walaupun pada
diri manusia ada dua potensi yaitu kebaikan dan keburukan, namun pada diri
manusia ditemukan isyarat-isyarat dalam al-Quran bahwa kebajikan lebih dahulu
menghiasi diri manusia dari pada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya
cenderung kepada kebajikan. Kecenderungan manusia kepada kebaikan.
Kecenderungan manusia kepada kebaikan lebih dominan disebabkan karena pada diri
manusia ada potensi fitrah (kesucian) yang dibawa manusia sejak lahir (Quraish
Shihab, 1998 : 254). Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw.
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ
أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ. (رواه البخارى)
Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan suci, maka ayah dan ibunyalah yang akan menjadikan dia seorang Yahudi,
Nasrani atau Majusi. (Sahih Bukhari, Jilid 3, 1995 : 177)
Prinsip akhlak
yang paling menonjol adalah bahwa manusia bebas melakukan tindakan-tindakannya,
manusia punya kehendak untuk berbuat dan tidak berbuat sesuatu. Ia merasa
bertanggung jawab terhadap semua yang dilakukannya dan harus menjaga apa yang
dihalalkan dan harus menjaga apa yang diharamkan Allah. Maka tanggung jawab
pribadi ini merupakan prinsip akhlak yang paling menonjol dalam Islam dan semua
urusan dan semua urusan keagamaan seseorang selalu disandarkan pada tanggung
jawab pribadi (Ali Abdul Mahmud, tt. : 114). Allah swt, berfirman dalam Q.S.
al-Muddatsir : 38:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌ (المدثر : 38)
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab
atas apa yang Telah diperbuatnya.” (Depag RI, 1989 : 995)
Juga dalam Q.S. al-An’am : 164:
وَلاَ تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلاَّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ
وِزْرَ أُخْرَى...(الأنعام : 164)
“… dan tidaklah seorang membuat
dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain…” (Depag RI, 1989 : 217)
Setiap tingkah
laku seorang muslim harus disertasi keyakinan bahwa Allah swt. melihat
dan menghisab apa yang dilakukan atau ditinggalkannya, karena setiap muslim
harus memiliki keyakinan bahwa tidak ada sesutu pun yang samar bagi Allah swt.
Dari sinilah tanggung jawab pribadi seorang muslim (Ali Abdul Mahmud, tt. :
115).
Dengan
demikian, nilai-nilai akhlak seorang muslim bersumber dari peraturan dan wahyu
Allah swt. serta petunjuk Rasulullah saw. Materi peraturan ini tertulis dan
tertanam di dalam hati setiap muslim yang taat kepada Allah serta mengharapkan
keridaan-Nya. Karena itu, seorang muslim tidak perlu dibuatkan undang-undang
akhlak dan untuk melaksanakan peraturan Allah swt. ini tidak perlu polisi yang mengawasinya,
karena Allah swt. selalu mengawasinya dan setiap muslim yang baik akan
senantiasa menempati kedudukan sebagai pemelihara dan penjaga
peraturan-peraturan Allah swt.
v Tujuan Pendidikan Akhlak
Para ahli
pendidikan Islam berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah pembentukan
akhlak. Muhammad Athiyah al-Abrasyi (1993 : 15) mengatakan:
“Pembinaan akhlak Islam adalah
untuk membentuk orang-orang yang bermoral baik, sopan dalam berbicara dan
perbuatan, mulia dalam tingkah laku, bersifat bijaksana, sopan dan beradab.
Jiwa dari pendidikan Islam pembinaan moral atau akhlak.
Ibn Miskawaih dalam Abudin Nata (2001 : 11)
merumuskan tujuan pendidikan akhlak yaitu:
Terwujudnya sikap batin yang
mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai
baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan
sempurna.
Jadi, tujuan
pendidikan akhlak yang ingin dicapai bersifat menyeluruh, yakni mencakup
kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.
Islam
menginginkan suatu masyarakat yang berakhlak mulia. Akhlak mulia ini sangat
ditekankan karena di samping akan membawa kebahagiaan bagi individu, juga
sekaligus membawa kebahagiaan bagi masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain
bahwa akhlak utama yang ditampilkan seseorang, tujuannya adalah untuk
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Allah swt.
menggambarkan dalam al-quran tentang janji-Nya terhadap orang yang senantiasa berakhalak
baik, di antaranya Q.S. an-Nahl : 97.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ
مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ (النحل : 97)
“Barangsiapa yang mengerjakan
amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka
Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya
akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang Telah mereka kerjakan.” (Depag RI, 1989 : 417)
Orang yang
selalu melaksanakan akhlak mulia, mereka akan senantiasa memperoleh kehidupan
yang baik, mendapatkan pahala berlipat ganda di akhirat dan akan dimasukkan ke
dalam surga. Dengan demikian, orang yang berakhlak mulia akan mendapatkan
keberuntungan hidup di dunia dan di akhirat.
Kenyataan
sosial membuktikan bahwa orang yang berkakhlak baik akan disukai oleh
masyarakat, kesulitan dan penderitaannya akan dibantu untuk dipecahkan, walau
mereka tidak mengharapkannya. Peluang, kepercayaan dan kesempatan datang silih
berganti kepadanya. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa orang yang banyak
menyumbang, bersedekah, berzakat tidak akan menjadi miskin, tetapi malah
bertambah hartanya.
F. Penutup
Dalam keseluruhan ajaran Islam, akhlak menempati kedudukan
yang istimewa dan sangat urgen. Hal ini dapat dilihat bahwa Rasulullah saw.,
menempatkan penyempurnaan akhlaq yang mulia sebagai misi pokok risalah
Islamiyah, sebagaimana sabdanya:
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ (رواه البيهقى)
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlaq yang mulia.” (H.R. Baihaqi)
Oleh karena itu, sudah kewajiban kita untuk belajar tentang
akhlaq, sehingga kita bisa mengetahui dan berusaha untuk menjauhkan diri dari
perbuatan akhlaq-akhlaq tercela (madzmumah) dan selalu berusaha dan
berjuang menyuciukan jiwa untuk memperoleh al-Akhlaqu al-Karimah, dan
semua itu akan didapatkan melalui pembelajaran dan pendidikan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali,
Abu Hamid Muhamad. 1989. Ihyâ Ulûm ad-Dîn. Jilid III. Beirut: Dar
al-Fikr.
Anis,
Ibrahim. 1975. Mu’jam al-Washît. Beirut: Dar al-Fikr.
AS., Ana
Suryana. 2007. Materi Pendidikan Agama Islam. Tasikmalaya: STAI.
Atjeh, Abu
Bakar, Prof., DR. 1991. Filsafat Akhlak dalam Islam. Semarang:
Ramadhani.
Depag RI.
1989. Al-Quran dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putera.
Ma’luf,
Louis. 1997. al-Munjîd fî Lughah wa al-A’lam. Cet. XXXVII. Beirut: Dar
al-Masyriq.
Mahyuddin.
1999. Kuliah Tasawuf. Cet. III. Jakarta: Kalam Mulia.
Nata, Abudin. 2000. Akhlak Tasawuf. Cet. III. Jakarta: Raja
Grafindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar