Untuk
memahami tema ini sebagaimana mestinya, harus diketahui terlebih dahulu bahwa
di dalam Al Qur’an terdapat ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat.
Allah ta’ala berfirman :
هُوَ
الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ
الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ
فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ
تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي
الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ
إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
(سورة آل عمران : 7)
(سورة آل عمران : 7)
Artinya
: “Dia-lah
yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada Muhammad. Di antara isi)nya ada
ayat-ayat muhkamat, itulah Umm Al Qur’an (yang dikembalikan dan disesuaikan
pemaknaan ayat-ayat al Qur’an dengannya) dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat.
Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka
mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari takwilnya sesuai dengan hawa nafsunya, padahal tidak ada yang
mengetahui takwilnya (seperti saat tibanya kiamat) melainkan Allah serta
orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan : “kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami”. Dan tidak dapat
mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal” (Q.S. Al
Imran : 7)
Ayat-ayat
Muhkamat : ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja dan tidak
memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui dengan
jelas makna dan maksudnya. Seperti firman Allah :
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ (سورة الشورى : 11)
Artinya : “Dia (Allah) tidak
menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi,
dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)“. (Q.S. asy-Syura: 11)
وَلَمْ
يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (سورة الإخلاص : 4)
Artinya : “Dia (Allah) tidak
ada satupun yang menyekutui-Nya“. (Q.S. al Ikhlash : 4)
هَلْ
تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا (سورة مريم : 65)
Artinya : Maknanya: “Allah
tidak ada serupa bagi-Nya“. (Q.S. Maryam :65)
Ayat-ayat
Mutasyabihat : ayat yang belum jelas maknanya. Atau yang memiliki banyak
kemungkinan makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh
pemaknaan yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat. Seperti firman
Allah :
الرَّحْمَنُ عَلَى
الْعَرْشِ اسْتَوَى
(سورة طه : 5)
(سورة طه : 5)
إِلَيْهِ
يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ (سورة فاطر :
10)
Makna ayat kedua ini adalah bahwa
dzikir seperti ucapan لآ إله إلّا اللهakan naik ke tempat
yang dimuliakan oleh Allah, yaitu langit. Dzikir ini juga akan mengangkat amal
saleh.
Pemaknaan
seperti ini sesuai dan selaras dengan ayat muhkamat لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْء (سورة الشورى 11)
Jadi
penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan kepada ayat-ayat
muhkamat. Ini jika memang berkait dengan ayat-ayat mutasyabihat yang mungkin
diketahui oleh para ulama. Sedangkan mutasyabih (hal yang tidak diketahui
oleh kita) yang dimaksud dalam ayat وَمَا
يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ (سورة آل عمران : 7) Menurut bacaan waqaf
pada lafzh al Jalalah الله adalah seperti saat
kiamat tiba, waktu pasti munculnya Dajjal, dan bukan mutasyabih yang seperti
ayat tentang istiwa’ ( Q.S. Thaha : 5). Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda :
اعملوا
بمحكمه ، وآمنوا بمتشابهه (حديث ضعيف ضعفا خفيفا)
Artinya
:“Amalkanlah
ayat-ayat muhkamat yang ada dalam Al Qur’an dan berimanlah terhadap yang
mutasyabihat dalam Al Qur’an“. Artinya jangan mengingkari adanya ayat-ayat
mutasyabihat ini melainkan percayai adanya dan kembalikan maknanya kepada
ayat-ayat yang muhkamat. Hadits ini dla’if dengan kedla’ifan yang ringan.
Sayyid
Murtadlo Az Zabidi seorang ahli hadits, pakar bahasa dan fiqh bermadzhab
Hanafi, dalam syarh Ihya’ ‘Ulumuddin yang berjudul Ithaf as-Sadah al
Muttaqin mengutip perkataan Abu Nashr al Qusyairi dalam kitab at-Tadzkirah
asy-Syarqiyyah : Sedang firman Allah“
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ (سورة آل عمران : 7) yang dimaksud adalah
waktu tepatnya kiamat tiba, sebab orang-orang musyrik bertanya kepada Nabi r tentang kiamat kapan
tiba. Jadi mutasyabih dalam konteks ini mengisyaratkan pada pengetahuan tentang
hal-hal yang gaib karena memang tidak ada yang mengetahui peristiwa di masa
mendatang dan akhir semua hal kecuali Allah. Karenanya Allah berfirman :
هَلْ
يَنْظُرُونَ إِلَّا تَأْوِيلَهُ يَوْمَ يَأْتِي تَأْوِيلُهُ (سورة الأعراف : 53)
maksudnya
mereka tidak menunggu kecuali datangnya kiamat.
Dengan
demikian, bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan (berdalih ayat tersebut)
bahwa terdapat dalam kitabullah hal yang tidak ada jalan bagi seorang
makhlukpun untuk mengetahuinya serta tidak ada yang mengetahui hal ini kecuali
Allah. Bukankah ini termasuk penghinaan terbesar terhadap misi-misi kenabian
?!. Bahwa Nabi tidak mengetahui takwil sifat-sifat Allah yang ada lalu mengajak
orang untuk mengetahui hal yang tidak bisa diketahui ?!, bukankah Allah
berfirman (tentang al Qur’an) :
بِلِسَانٍ
عَرَبِيٍّ مُبِينٍ (سورة الشعراء :195)
Maknanya : “Dengan
bahasa Arab yang jelas” (Q.S. asy-Syu’ara’ :195)
Berarti
kalau menurut logika pendapat mereka ini makamereka mesti mengatakan bahwa
Allah telah berdusta karenamengatakan بِلِسَانٍ
عَرَبِيٍّ مُبِينٍsebab
mereka ternyata tidak memahaminya. Jika tidak, lalu di mana letak kebenaran
penjelasan ini ?!. Dan jika memang al Qur’an ini berbahasa Arab lalu bagaimana
bisa seseorang mengatakan bahwa di dalamnya ada yang tidak diketahui oleh orang
Arab padahal al Qur’an berbahasa Arab. Jika demikian halnya apa sebutan yang
patut untuk pendapat yang berujung pada pendustaan terhadap Allah ini !?”.
Az-Zabidi
selanjutnya mengatakan masih menukil dari al Qusyairi : “Bukankah ada pendapat
yang mengatakan bahwa bacaan ayat (tentang takwil) tersebut adalah
وَمَا
يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ
seakan
Allah SWT menyatakan “orang
yang mendalam ilmunya juga mengetahui takwilnya serta beriman kepadanya” karena
beriman kepadasesuatu itu hanya dapat terwujud setelah mengetahui sesuatuitu,
sedang sesuatu yang tidak diketahui tidak akan mungkinseseorang beriman kepadanya.
Karenanya, Ibnu Abbasmengatakan : “Saya termasuk orang-orang yang mendalam
ilmunya“.
Ada
dua metode untuk memaknai ayat-ayat mutasyabihat yang keduanya sama-sama benar
:
Pertama : Metode
Salaf. Mereka adalah orng-orang yang hidup pada tiga abad hijriyah pertama.
Yakni kebanyakan dari mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara global (takwil
ijmali), yaitu dengan mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah
sifat-sifat jism (sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi
memiliki makna yang layak bagi keagungan dan kemahasucian Allah tanpa
menentukan apa makna tersebut. Mereka mengembalikan makna ayat-ayat
mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat seperti firman Allah :
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ (سورة الشورى : 11)
Maknanya:
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu
segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)“.
(Q.S. asy-Syura: 11)
Takwil ijmali
ini adalah seperti yang dikatakan oleh imam asy-Syafi’i –semoga Allah meridlainya- :
ini adalah seperti yang dikatakan oleh imam asy-Syafi’i –semoga Allah meridlainya- :
آمَنْتُ
بِماَ جَاء َ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ وَبِماَ جَاءَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ
عَلَى مُرَادِ رَسُولِ اللهِ
“Aku
beriman dengan segala yang berasal dari Allah sesuai apa yang dimaksudkan Allah
dan beriman dengan segala yang berasal dari Rasulullah
sesuai dengan maksud Rasulullah“, yakni bukan sesuai dengan yang terbayangkan oleh prasangka dan benak manusia yang merupakan sifat-sifat fisik dan benda (makhluk) yang tentunya mustahil bagi Allah.
sesuai dengan maksud Rasulullah“, yakni bukan sesuai dengan yang terbayangkan oleh prasangka dan benak manusia yang merupakan sifat-sifat fisik dan benda (makhluk) yang tentunya mustahil bagi Allah.
Selanjutnya, penafian
bahwa ulama salaf mentakwil secara terperinci (takwil tafshili) seperti
yang diduga oleh sebagian orang tidaklah benar. Terbukti bahwa dalam Shahih al
Bukhari, kitab tafsir al Qur’an tertulis :
”
سورة القصص ,كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ, إلاّ ملكه ويقال ما يقرّب به
إليه ” اهـ
“Surat
al Qashashكُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (Q.S. al Qashash :
88) yakni kecuali kekuasaan dan pengaturan-Nya terhadap makhluk-Nya atau amal
yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya“. Kekuasaan Allah
adalah sifat Allah yang azali (tidak memiliki permulaan) , tidak seperti
kekuasaan yang Ia berikan kepada makhluk-Nya. Dalam Shahih al Bukhari juga
masih terdapat takwil semacam ini di bagian yang lain seperti dlahik yang
terdapat dalam hadits ditakwilkan dengan rahmat-Nya yang khusus (ar-Rahmah
al Khashshah).
Terbukti
dengan sahih pula bahwa imam Ahmad yang juga termasuk ulama salaf mentakwil
firman Allah SWT وَجَاءَ رَبُّك secara tafshili (terperinci),
ia mengatakan : yakni datang kekuasan-Nya (tanda-tanda kekuasaan-Nya) “.
Sanad perkataan imam Ahmad ini disahihkan oleh al Hafizh al Bayhaqi, seorang
ahli hadits yang menurut al Hafizh Shalahuddin al ‘Ala-i : “Setelah al Bayhaqi
dan ad-Daraquthni, belum ada ahli hadits yang menyamai kapasitas keduanya atau
mendekati kapasitas keduanya “. Komentar al Bayhaqi terhadap sanad tersebut ada
dalam kitabnya Manaqib Ahmad. Sedang komentar al Hafizh Abu Sa’id al
‘Ala-i mengenai al Bayhaqi dan ad-Daraquthni terdapat dalam bukunya al
Wasyyu al Mu’lam. Al Hafizh Abu Sa’id al ‘Ala-i sendiri menurut al Hafizh
Ibnu Hajar : “Dia adalah guru dari para guru kami”, beliau hidup pada abad VII
Hijriyah.
Banyak di antara para
ulama yang menyebutkan dalam karya-karya mereka bahwa imam Ahmad mentakwil
secara terperinci (tafshili), di antaranya al Hafizh Abdurrahman ibn al
Jawzi yang merupakan salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali. Disebut
demikian karena beliau banyak mengetahui nash-nash (teks-teks induk)
dalam madzhab Hanbali dan keadaan imam Ahmad. Abu Nashr al Qusyairi juga telah
menjelaskan konsekwensi-konsekwensi buruk yang secara logis akan didapat oleh
orang yang menolak takwil. Abu Nashr al Qusyairi adalah seorang ulama yang
digelari oleh al Hafizh ‘Abdurrazzaq ath-Thabsi sebagai imam dari para imam.
Ini seperti dikutip oleh al Hafizh Ibnu ‘Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzib
al Muftari.
Kedua : Metode
Khalaf. Mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara terperinci dengan
menentukan maknamaknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam bahasa
Arab. Seperti halnya ulama Salaf, mereka tidak memahami ayat-ayat tersebut
sesuai dengan zhahirnya. Metode ini bisa diambil dan diikuti, terutama ketika
dikhawatirkan terjadi goncangan terhadap keyakinan orang awam demi untuk
menjaga dan membentengi mereka dari tasybih (menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya). Sebagai contoh, firman Allah I yang memaki Iblis :مَا
مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ (سورة ص : 75)
Ayat ini boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan al Yadayn
adalah al ‘Inayah (perhatian khusus) dan al Hifzh (pemeliharaan dan penjagaan).
Ayat ini boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan al Yadayn
adalah al ‘Inayah (perhatian khusus) dan al Hifzh (pemeliharaan dan penjagaan).
TAFSIR FIRMAN ALLAH SWT
الرَّحْمَنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Ayat
ini wajib ditafsirkan dengan selain bersemayam, duduk dan semacamnya. Bahkan
orang yang meyakini demikian hukumnya kafir. Berarti ayat ini tidak boleh
diambil secara zhahirnya tetapi harus dipahami dengan makna yang tepat dan
dapat diterima oleh akal. Bisa dikatakan bahwa makna lafazh istiwa’ di
sini adalah al Qahr, menundukkan dan menguasai. Dalam bahasa Arab
dikatakan : استوى فلان على الممالك
Jika dia berhasil menguasai kerajaan, memegang kendali segala urusan dan menundukkan orang, seperti dalam sebuah bait syair :
Jika dia berhasil menguasai kerajaan, memegang kendali segala urusan dan menundukkan orang, seperti dalam sebuah bait syair :
قَدْ
اسْتَوَى ِبشْرٌ عَلَى
الْعِرَاقِ مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ
وَدَمٍّ مهْرَاقِ
“Bisyr telah
menguasai Irak, tanpa senjata dan pertumpahan darah“.
Sedangkan
faedah disebutkannya ‘arsy secara khusus adalah bahwa ‘arsy merupakan makhluk
Allah yang paling besar bentuk dan ukurannya. Ini berarti tentunya
makhlukmakhluk yang lebih kecil dari ‘arsy termasuk di dalamnya. Sayyidina Ali Karromallohu
Wajhah mengatakan :
إنّ
الله خلق العرش إظهارا لقدرته ولم يتّخذه مكانا لذاته
“Sesungguhnya
Allah menciptakan ‘arsy (makhluk Allah SWT yang paling besar) untuk menampakkan
kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya“.
Diriwayatkan
oleh AbuManshur at-Tamimi, seorang imam serta pakar hadits, fiqhdan bahasa
dalam kitabnya at-Tabshirah.Ayat ini juga boleh ditafsirkan bahwa “Allah
SWT memilikisifat istiwa’ yang diketahui oleh-Nya, disertai
keyakinanbahwa Allah SWT maha suci dari istiwa’-nya makhluk yangbermakna duduk,
bersemayam dan semacamnya”.
Ketahuilah bahwa
harus diwaspadai orang-orang yangmenyandangkan sifat duduk dan bersemayam di
atas ‘arsy.Mereka menafsirkan firman Allah SWT : الرَّحْمَنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Dengan duduk atau berada di atas ‘arsy dengan jarak. Mereka juga mengklaim bahwa tidak masuk akal adanya sesuatu tanpa tempat, ini adalah klaim yang bathil. Mereka mengklaim juga bahwa perkataan ulama salaf : Istawa bila kayf sesuai dengan apa yang mereka katakan. Mereka tidak mengerti bahwa kayf yang dinafikan oleh ulama salaf adalah duduk, bersemayam, berada di suatu tempat, berada di atas sesuatu dengan jarak dan semua sifat makhluk seperti bergerak, diam dan semacamnya.
Dengan duduk atau berada di atas ‘arsy dengan jarak. Mereka juga mengklaim bahwa tidak masuk akal adanya sesuatu tanpa tempat, ini adalah klaim yang bathil. Mereka mengklaim juga bahwa perkataan ulama salaf : Istawa bila kayf sesuai dengan apa yang mereka katakan. Mereka tidak mengerti bahwa kayf yang dinafikan oleh ulama salaf adalah duduk, bersemayam, berada di suatu tempat, berada di atas sesuatu dengan jarak dan semua sifat makhluk seperti bergerak, diam dan semacamnya.
Al Qusyairi berkata :
“argumen yang bisa mematahkan syubhah mereka adalah jika dikatakan : sebelum
Allah I menciptakan alam
atau tempat, apakah Allah I ada atau tidak ?! akal yang sehat akan
menjawab : ya, Allah ada. Jika demikian halnya maka sekiranya perkataan mereka
” tidak masuk akal adanya sesuatu tanpa tempat” adalah benar, hanya ada dua
pilihan : pertama, mereka akan mengatakan bahwa tempat, ‘arsy dan alam adalah
qadim (tidak memiliki permulaan) atau pilihan kedua, Tuhan itu baharu.
Inilah ujung dari keyakinan golongan Hasyawiyyah yang bodoh itu, sungguh
yang Qadim (Allah) tidaklah baharu (muhdats) dan yang baharu
tidaklah qadim”.
Al Qusyairi juga
mengatakan dalam at-Tadzkirah asy-Syarqiyyah : “Jika dikatakan :
bukankah Allah SWT berfirman : الرَّحْمَنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى Maka harus diambil zhahir ayat ini. Kita menjawab Allah I juga berfirman :
وَهُوَ
مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ (سورة الحديد : 4)
أَلَا
إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ مُحِيطٌ (سورة فصلت : 54)
Jika
kaedahnya seperti yang anda katakan berarti harusdiambil juga zhahir kedua ayat
ini dan itu berarti Allah SWT beradadi atas ‘arsy, ada di antara kita, ada
bersama kita serta meliputi dan mengelilingi alam dengan Dzat-Nya dalam saat
yang sama. Padahal –kata al Qusyairi- dzat yang satu mustahil pada saat yang
sama berada di semua tempat. Kemudian –kata al Qusyairi- jika mereka mengatakan
: firman Allah SWT وَهُوَ مَعَكُمْ yang dimaksud adalah
dengan ilmu-Nya, dan firman Allah
SWT بِكُلِّ شَيْءٍ مُحِيطٌ maksudnya ilmu Allah SWT meliputi segala
sesuatu. Maka kita katakan : jika demikian, maka الرَّحْمَنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى berarti qahara, hafizha dan abqa (menundukkan
dan menguasai, memelihara dan menetapkannya)”. Maksud al Qusyairi adalah jika
mereka di sini mentakwil ayat-ayat Mutasyabihat semacam ini dan tidak
memaknainya secara zhahirnya, lalu mengapa mereka mencela orang yang mentakwil
ayat istiwa’ dengan qahr, Ini adalah bukti bahwa mereka telah
berpendapat tanpa disertai dengan dalil.
Selanjutnya, Al
Qusyairi mengatakan : “Seandainya perkataan kami bahwa istawa berarti qahara
memberi persangkaan bahwa telah terjadi pertarungan dan awalnya Allah SWT
dikalahkan lalu pada akhirnya menundukkan dan mengalahkan lawan-Nya niscaya hal
yang sama muncul dari persangkaan terhadap ayat وَهُوَ
الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ (سورة الأنعام : 18)
Sehingga akan dikatakan : Allah SWT sebelum menciptakan hamba-Nya maqhur (dikalahkan), bukankah hamba seluruhnya tidak ada sebelum Allah I menciptakan mereka. Justru sebaliknya (lebih parah) jika istiwa’ tersebut adalah dengan dzat-Nya akan memberi persangkaan bahwa Allah I berubah dari keadaan sebelumnya, yaitu bengkok sebelum istiwa’ karena Allah I ada sebelum ‘arsy diciptakan. Orang yang obyektif akan mengetahui bahwa orang yang mengatakan : العرش بالربّ استوى “‘Arsy sempurna adanya dengan pengadaan-Nya” Lebih tepat dari perkataan : الربّ بالعرش استوى Jadi Allah SWT disifati dengan ketinggian derajat dan keagungan, maha suci dari berada di suatu tempat dan berada di atas sesuatu dengan jarak.
Sehingga akan dikatakan : Allah SWT sebelum menciptakan hamba-Nya maqhur (dikalahkan), bukankah hamba seluruhnya tidak ada sebelum Allah I menciptakan mereka. Justru sebaliknya (lebih parah) jika istiwa’ tersebut adalah dengan dzat-Nya akan memberi persangkaan bahwa Allah I berubah dari keadaan sebelumnya, yaitu bengkok sebelum istiwa’ karena Allah I ada sebelum ‘arsy diciptakan. Orang yang obyektif akan mengetahui bahwa orang yang mengatakan : العرش بالربّ استوى “‘Arsy sempurna adanya dengan pengadaan-Nya” Lebih tepat dari perkataan : الربّ بالعرش استوى Jadi Allah SWT disifati dengan ketinggian derajat dan keagungan, maha suci dari berada di suatu tempat dan berada di atas sesuatu dengan jarak.
Al
Qusyairi berkata : “Telah muncul sekelompok orang bodoh, yang seandainya mereka
tidak mendekati orang awam dengan keyakinan rusak seiring daya nalar mereka dan
terbayangkan oleh benak mereka aku tidak akan mengotori lembaran-lembaran buku
ini dengan menyebut mereka. Mereka mengatakan : Kita memahami ayat dengan mengambil
dzhahirnya, ayat-ayat yang memberi persangkaan bahwa Allah I menyerupai
makhluk-Nya atau memiliki bentuk dan ukuran serta anggota badan kita pahami
secara zhahirnya. Tidak boleh melakukan takwil terhadap ayat-ayat tersebut.
Menurut mereka, mereka berpegangan dengan firman Allah SWT : وَمَا
يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ Demi Allah, mereka
ini lebih berbahaya terhadap Islam daripada orang-orang Yahudi, Nashrani,
Majusi dan penyembah berhala. Karena kesesatan orang-orang kafir ini jelas,
diketahui dan dijauhi oleh semua ummat Islam. Sedangkan orang-orang yang
disebut pertama tadi berpenampilan layaknya para ulama dan mengakses kepada
orang awam dengan cara yang bisa menarik orang awam agar mengikuti mereka
sehingga mereka menyebarkan bid’ah tasybih ini dan menanamkan pada
mereka bahwa tuhan yang kita sembah ini memiliki anggota badan, mempunyai sifat
naik, turun, bersandar, terlentang, istiwa’ dengan dzat-Nya dan
datang-pergi dari suatu tempat dan arah ke yang lain.
Maka
–lanjut al Qusyairi- barangsiapa tertipu oleh penampilan luar mereka akan
mempercayai mereka dan membayangkan sesuatu yang dicerna dengan indra dan
menyandang sifat-sifat makhluk diyakininya sebagai Allah I. Dengan keyakinan
semacam ini ia telah jauh tersesat tanpa dia sadari”. Dari penjelasan di atas
diketahui bahwa perkataan orang bahwa takwil tidak boleh adalah kebodohan dan
ketidaktahuan terhadap yang benar. Perkataan ini terbantah dengan doa
Rasulullah r untuk Ibnu Abbas t:
اللَّهُمَّ
عَلِّمْهُ الْحِكْمَةَ وَتَأْوِيلَ الْكِتَابِ (رواه البخارى وابن ماجه وغيرهما
بألفاظ متعدّدة)
“Ya Allah, berilah
ia pemahaman tentang agama dan ajarilah ia
penafsiran al-Qur’an” (H.R. al Bukhari, Ibnu Majah dan lainnya
dengan redaksi yang berbeda-beda)
penafsiran al-Qur’an” (H.R. al Bukhari, Ibnu Majah dan lainnya
dengan redaksi yang berbeda-beda)
Al
Hafizh Ibn al Jawzi dalam kitabnya Al Majalisberkata : “Tidak diragukan
lagi bahwa Allah SWT mengabulkandoa Rasulullah SAW ini”. Kemudian
beliau mengingkari dengan sangat dan mencela dengan pedas orang yang menolak
takwil dan menguraikan dengan panjang lebar hal ini. Bagi yang tertarik
silahkan membacanya. Sedangkan firman Allah SWT:
يَخَافُونَ
رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ (سورة النحل : 50)
maknanya
di atasmereka dengan kekuasaan-Nya, bukan dengan tempat danarah, yakni bukan di
atas mereka dari segi tempat dan arah.Firman Allah SWT :
وَجَاءَ
رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا(سورة الفجر : 22)
Datangyang
dinisbatkan kepada Allah SWT ini maknanya bukan datang dengan bergerak,
berpindah, mengosongkan suatu tempat dan mengisi tempat yang lain dan kafir
hukumnya orang yang meyakini semacam ini bagi Allah SWT. Karena Allah SWT
yang menciptakan sifat bergerak, diam dan semua sifat makhluk, maka Allah I tidak disifati
dengan bergerak dan diam. Jadi yang dimaksud dengan وَجَاءَ
رَبُّكَ
adalah datang sesuatu dari Tuhanmu, yakni salah satu tanda kekuasaan-Nya.
Inilah takwil yang dikemukakan oleh Imam Ahmad. Diriwayatkan dengan sanad yang
sahih bahwa beliau berkata tentang ayat tersebut وَجَاءَ
رَبُّكَ
yang datang adalah (tanda) kekuasaan-Nya. Takwil ini diriwayatkan oleh
al Bayhaqi dalam Manaqib Ahmad seperti yang sudah pernah disinggung.
TAFSIR FIRMAN ALLAH TA’ALA
مِنْ
رُوحِنَا
مِنْ رُوحِي
مِنْ رُوحِي
Hendaklah
diketahui bahwa Allah SWT adalah pencipta roh dan jasad, berarti Ia
bukan roh dan bukanjasad. Maka ketika Allah SWT menisbatkan roh Isa kepada dzat-Nya,
yang dimaksud adalah Allah I memiliki roh Nabi Isa
danmemuliakannya. Ini sama sekali tidak berarti bahwa Nabi Isa adalah bagian
dari dzat-Nya (al Juz-iyyah). Hal ini terdapat dalam firman Allah : مِنْ
رُوحِنَا (سورة الأنبياء : 91) Dengan makna yang sama Allah I berfirman tentang
Nabi Adam alayhissalam : مِنْ رُوحِي (سورة
ص : 72) Jadi
makna firman Allah SWT فَنَفَخْنَا فِيهِ مِنْ رُوحِنَا
(سورة التحريم : 12) adalah : “kami memerintahkan
pada Jibril alayhissalam untuk meniupkan ke dalam Maryam roh yang
merupakan milik kami dan mulia menurut kami”. Karena roh itu terbagi menjadi
dua : roh yang dimuliakan dan roh yang jahat. Roh para nabi termasuk dalam
kategori pertama. Karenanya penyandaran (idlafah) roh nabi Isa dan roh
nabi Adam kepada Allah SWT adalah penyandaran yang berarti kepemilikan dan
pemuliaan Allah terhadap keduanya. Hukum orang yang meyakini bahwa Allah I adalah roh adalah
dikafirkan karena roh adalah makhluk dan Allah maha suci dari menyerupai
makhluk.
Begitu
pula firman Allah SWT mengenai ka’bah : بَيْتِيَ
(سورة الحج : 26),
ini juga penyandaran (idlafah) yang berarti kepemilikan dan pemuliaan
Allah SWT terhadap ka’bah,
bukan menunjukkan bahwa bayt adalah sifat Allah I atau tempat bagi
Allah I karena persinggungan
dan bersentuhan antara Allah dan ka’bah adalah mustahil bagi-Nya. Demikian juga
firman Allah SWT : رَبُّ
الْعَرْشِ (سورة المؤمنون : 116) hanyalah menunjukkan bahwa Allah
pencipta ‘arsy, makhluk Allah SWT yang terbesar
ukurannya. Penyandaran ini tidak berarti ada kaitan antara Allah SWT dengan ‘arsy bahwa
Allah SWT duduk di atasnya atau berada di atasnya dengan jarak. Jadi maknanya
bukan bahwa Allah SWT duduk di atas ‘arsy dengan menempel, juga bukan
berarti Allah SWT berada di atasnya dengan berjarak ruang kosong yang luas
atau sempit. Ini semua mustahil bagi Allah SWT . ‘Arsy disandarkan kepada
Allah I karena beberapa
keistimewaannya. Di antaranya bahwa ‘arsy adalah kiblat para malaikat yang
mengelilinginya sebagaimana ka’bah menjadi mulia karena orang-orang mukmin
berthawaf mengelilinginya. Di antara keistimewaan ‘arsy pula bahwa ‘arsy tidak
pernah dikotori dengan perbuatan maksiat terhadap Allah SWT karena yang
berada di sekelilingnya adalah para malaikat yang mulia, yang tidak pernah
berbuat maksiat terhadap Allah SWT sekejappun. Jadi
orang yang meyakini bahwa Allah SWT menciptakan ‘arsy
untuk Ia duduki telah menyerupakan Allah SWT dengan para raja
yang membuat ranjang-ranjang besar untuk mereka duduki, dan yang meyakini ini
berarti dia belum mengenal Allah SWT. Juga dihukumi kafir orang yang meyakini
Allah SWT bersentuhan dengan sesuatu karena hal ini mustahil berlaku bagi Allah
SWT.
TAFSIR AL MA’IYYAH
BAGI ALLAH TA’ALA
DI DALAM AL QUR’AN
Makna
firman Allah SWT : وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
(سورة الحديد : 4) al ma’iyyah di sini berarti bahwa Allah SWT ilmunya meliputi di
manapun seseorang berada. Kadang al ma’iyyah berarti juga pertolongan
dan perlindungan Allah SWT seperti dalam ayat إِنَّ
اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا (سورة النحل : 128) Al ma’iyyah yang dimaksud dalam
ayat-ayat tersebut bukanlah bahwa Allah SWT menempati makhluk-Nya atau
menempel. Orang yang meyakini demikian hukumnya kafir karena Allah SWT maha suci dari
menempel dan berpisah dengan jarak. Karenanya, tidak boleh dikatakan :
Allah SWT bersatu atau menempel dengan alam atau berpisah dari alam dengan
jarak. Sebab semua ini adalah sifat benda, benda yang bisa disifati dengan
menempel dan berpisah. Sedangkan Allah SWT bukan sesuatu yang baharu (makhluk)
sebagaimana firman Allah SWT :
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ (سورة الشورى : 11)
Artinya: “Dia (Allah)
tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua
segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)
Allah
SWT tidak disifati dengan memiliki bentuk dan ukuran besar atau kecil, panjang
atau pendek karena Dia berbeda dengan makhluk-Nya. Demikian pula setiap pikiran
atau bayangan yang menyandarkan bentuk dan ukuran kepada Allah SWT harus diusir dan
dihilangkan dari benak. Jadi ketika kita mengucapkan : Allahu Akbar maknanya
adalah bahwa Allah SWT lebih besar dari segi keagungan, derajat, kekuasaan
dan kemahatahuan bukan dari segi panjang dan keluasan bentuk dan ukuran. Ini
yang dimaksud oleh ulama salaf ketika menyikapi ayat-ayat mutasyabihat dengan
mengatakan : أمرّوها كما جائت بلا كيفية ” Bacalah
ayat-ayat tersebut sebagaimana bunyinya tanpa menyifati Allah dengan
sifat-sifat makhluk” Jadi bukan maksudnya bahwa Allah memiliki kaifiyyat
tetapi kita tidak mengetahuinya. Dengan demikian tidaklah sesuai dengan
ulama salaf orang yang menyatakan berdasarkan pernyataan di atas bahwa istiwa’-nya
Allah di atas ‘arsy adalah duduk tetapi tidak diketahui bagaimana bentuk
duduk-Nya tersebut.
Dahulu,
orang-orang Yahudi menyandangkan lelah kepada Allah SWT. Mereka mengatakan :
setelah menciptakan langit dan bumi Allah SWT beristirahat dan terlentang.
Perkataan mereka ini jelas kekufurannya. Allah maha suci dari ini semua. Ia
juga maha suci dari infi’al seperti merasakan kelelahan, sakit dan
merasa enak. Karena yang mengalami keadaan-keadaan semacam ini pastilah makhluk
yang selalu mengalami perubahan dan ini mustahil bagi Allah. Allah I berfirman :
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ
وَمَا مَسَّنَا مِنْ لُغُوبٍ (سورة ق : 38)
Artinya : “Kami (Allah)
menciptakan langit dan bumi dan yang berada di antara keduanya, dan tidaklah
sekali-kali kami mengalami kelelahan” (Q.S. Qaf: 38)
Yang akan merasa kelelahan adalah orang
yang melakukan perbuatannya dengan anggota badan, sedangkan Allah I maha suci dari
memiliki anggota badan.
Allah SWT berfirman :
إِنَّ
اللَّهَ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (سورة غافر : 20)
Artinya : Maknanya : “Sesungguhnya
Allah maha mendengar lagi maha melihat” (Q.S. Ghafir : 20)
Allah
SWT mendengar dan melihat
bukan seperti melihat dan mendengarnya makhluk. Jadi mendengar dan melihatnya
Allah SWT ada dua sifat-Nya yang azali yang bukan merupakan anggota badan,
artinya bukan dengan telinga atau kelopak mata, kategori dekat , jauh atau
berhubungan dengan arah, tanpa munculnya cahaya dari mata atau berhembusnya
udara.
Barang
siapa mengatakan Allah memiliki telinga maka ia telah kafir, meskipun dia
mengatakan Allah memiliki telinga tetapi tidak seperti telinga kita. Ini
berbeda dengan orang yang mengatakan : Allah memiliki ‘ayn tetapi tidak
seperti mata kita, yad tidak seperti tangan kita, melainkan sebagai
sifat-Nya. Yang terakhir ini boleh dikatakan karena lafazh ‘ayn dan yad
memang terdapat dalam al Qur’an sedangkan lafazh udzun (telinga)
tidak pernah disandangkan bagi Allah dalam teks agama.
TAFSIR FIRMAN ALLAH TA’ALA
فَثَمَّ
وَجْهُ اللَّهِ
Allah SWT
berfirman وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ (سورة البقرة :115) Makna ayat ini adalah
bahwa kemanapun kalian menghadapkan muka kalian pada shalat sunnah di
perjalanan maka di sanalah kiblat Allah SWT. Yakni Arah yang kalian
menghadapkan muka kepadanya adalah kiblat kalian. Maksud wajh di sini
bukanlah anggota badan muka.
Orang yang meyakini
bahwa Allah SWT memiliki anggota badan jelas dikafirkan. Karena seandainya
Allah SWT mempunyai anggota badan berarti dia serupa dengan kita, bisa
berlaku bagi-Nya hal yang berlaku bagi kita seperti fana’ (kepunahandan
kebinasaan).
Terkadang
maksud dari wajh adalah melaksanakan sesuatu untuk mendekatkan diri
kepada Allah I. Sebagai contoh
ketika orang mengatakan : saya melakukan perbuatan ini karena wajh Allah
SWT, maka maksudnya adalah bahwa aku melakukannya karena melaksanakan perintah
Allah SWT.
Haram
hukumnya mengatakan seperti orang-orang bodoh katakan : “Bukalah jendela itu
supaya kita dapat melihat muka Allah “. Ini dikarenakan Allah I berfirman kepada
nabi Musa ‘alayhissalam :
لَنْ
تَرَانِي (سورة الأعراف : 143)
Artinya: “Engkau tidak
akan pernah melihat-Ku (dengan matadi dunia ini)” (Q.S. al A’raf : 143)
Meskipun
maksud orang yang mengatakan perkataan tersebutbukan melihat Allah SWT tetap dihukumi haram
mengatakannya.
TAFSIR FIRMAN ALLAH
TA’ALA
اللَّهُ
نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Firman
Allah SWT اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ (سورة النور: 35) maknanya adalah bahwa Allah SWT
Pemberi petunjuk langit dan bumi kepada cahaya keimanan. Penafsiran ini
diriwayatkan oleh al Bayhaqi dari Abdullah ibn ‘Abbas. Jadi Allah SWT
bukanlah Nur dalam arti cahaya karena Ia yang menciptakan cahaya.
Allah SWT berfirman :
وَجَعَلَ
الظُّلُمَاتِ وَالنُّورِ (سورة الأنعام : 1)
Artinya : “dan Ia
menciptakan kegelapan dan cahaya” (Q.S. al An’am : 1)
Jadi
Allah yang menciptakan kegelapan dan cahaya, bagaimana mungkin ia adalah cahaya
seperti halnya makhluk-Nya ?!, maha suci Allah dari hal ini.
Hukum
orang yang meyakini bahwa Allah SWT adalah cahaya adalah dikafirkan. Ayat
pertama surat al An’am tersebut yang berbunyi :
الْحَمْدُ لِلَّهِ
الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ ثُمَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ (سورة الأنعام : 1)
adalah
dalil paling jelas yang menegaskan bahwa Allah SWT bukan jism (sesuatu
yang memiliki bentuk dan ukuran) katsif (yang bisa dipegang dengan
tangan) seperti langit dan bumi dan bukan jism lathif (yang tidak bisa
dipegang dengan tangan) seperti kegelapan dan cahaya. Maka barang siapa
meyakini bahwa Allah I adalah benda katsif atau lathif berarti ia
telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Ayat ini adalah dalil yang
menunjukkan kepada hal itu. Kebanyakan kalangan Musyabbihah (golongan
yang menyerupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya) meyakini bahwa Allah
adalah benda katsif . Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah SWT adalah benda lathif
seperti perkataan mereka bahwa Allah SWT adalah cahaya yang
gemerlapan. Ayat ini saja cukup sebagai bantahan terhadap kedua kelompok Musyabbihah
tersebut. Dan masih banyak lagi keyakinan-keyakinan kufur yang lain seperti
keyakinan sebagian orang bahwa Allah SWT memiliki warna atau
bentuk. Karenanya seseorang hendaklah menjauhi keyakinan-keyakinan tersebut
sekuat tenaga dan bagaimanapun keadaannya.
repost from: http://islamtradisionalis.wordpress.com/2012/01/27/mengenal-ayat-ayat-muhkamat-dan-mutasyabihat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar